Semua orang
pasti sudah tahu tentang saputangan. Benda ini sangat dibutuhkan setiap orang
terlebih ketika sedang pilek dan batuk. Kenapa? Karena bisa digunakan untuk
membuang ingus, menutup mulut ketika batuk supaya tidak menular dan juga ketika
bersin. Tak hanya itu, ketika kita berkeringat, kita bisa menggunakannya untuk
menghapus keringat sekaligus membersihkan wajah kita yang kotor. Bentuknya yang
sederhana membuatnya mudah untuk dibawa kemana-mana. Mulia sekali ya tugas sapu
tangan ini…
Dewasa ini
saputangan semakin bermacam-macam jenisnya. Ada yang dibuat dari bahan katun,
linen bahkan ada yang menggunakan bahan sutera. Semakin baik kualitasnya, tentu
harganya akan semakin tinggi. Saputangan yang laris di pasaran adalah yang
terbuat dari bahan handuk Karena mudah menyerap keringat. Saputangan yang
digunakan untuk pria didesain berbeda dengan yang digunakan untuk wanita. Pada
desain saputangan pria cenderung polos dan berwarna gelap. Motif yang dipakai
pada umumnya bergaris-garis atau kotak-kotak. Pada desain saputangan yang
dipasarkan untuk wanita, biasanya dihiasi dengan motif-motif menarik seperti
bunga-bunga, tumbuhan dan menggunakan warna-warna cerah. Saputangan untuk
anak-anak kecil dihiasi dengan gambar hewan atau tokoh-tokoh kartun yang lucu
dan menarik.
Selama ini
mungkin kita sedikit meremehkan tentang saputangan. Banyak sekali orang yang
tidak tahu dan tak ingin tahu tentang awal mula saputangan ini muncul.
Sepertinya sejarah saputangan ini menarik untuk dibicarakan. Kita berangkat dari
Inggris, Raja Inggris disebut-sebut sebagai penemu saputangan buktinya ada pada
sebuah buku yang menulis tentang kain kecil yang digunakan oleh raja untuk
membersihkan hidung.
Berdasarkan
catatan dari Catulus, saputangan terbukti sudah ada sebelum Masehi. Pada saat
itu bahan yang dipakai hanyalah rumput kemudian berkembang dengan menggunakan
linen. Harganya yang cukup mahal membuat saputangan hanya dimiliki oleh
kalangan tertentu saja. Pada masyarakat Romawi kuno mereka menggunakannya untuk
menunjukkan antusiasnya pada saat menonton pertunjukkan sedangkan para
pemainnya memakai saputangan yang berwarna putih. Saputangan ini digunakan
sebagai bingkisan atau tanda dari seorang laki-laki yang menyukai seorang
perempuan, si perempuan pun juga boleh melakukan hal yang sama pada pria yang
disukainya. Pada acara-acara keagamaan orang-orang suka membawa saputangan
dengan hiasan yang indah.
Bagi
penduduk Eropa saputangan selalu digunakan sebagai pelengkap dalam berbusana.
Kala itu pakaian para wanita yang sangat popular yaitu dengan menggunakan
korset yang sangat ketat. Baju tersebut dibuat dari bahan yang mahal seperti
emas dan beludru. Di negara Italia ada seorang wanita Venesia yang membentuk
rami menjadi kotak-kotak persegi dan menghiasinya dengan renda. Alhasil warga
sekitarnya sangat menyukai hasil buatannya yang kemudian disebut lanolawn.
Saputangan ini kemudian dipakai sebagai alat komunikasi pada masyarakat kelas
atas. Mereka cukup melambai-lambaikan saputangan tersebut pada orang lain, ini
artinya adalah sapaan.
Perancis
mengenal saputangan melalui rajanya yang bernama Henry II. Ketika cerutu mulai
dikenal, saputangan digunakan untuk menghapus noda di mulut dan hidung yang
ditimbulkan karena menghisap cerutu. Maka mulai muncul saputangan yang berwarna
gelap dan juga ukurannya yang besar. Tetapi kemudian Maria Antoinette merasa
pusing karena ukuran saputangan yang sangat bermacam-macam. Beliau lebih suka saputangan yang berbentuk
persegi. Lalu Suaminya yaitu raja Louis XVI membuat peraturan khusus untuk
ukuran saputangan di Istana. Kemudian saputangan ini terkenal sampai ke Jerman.
Saputangan dengan bentuk bujur sangkar dengan hiasan renda dan bordir menjadi
sangat diminati dan dijadikan sebagai pelengkap untuk busana para wanita.
Nah,
ternyata perkembangan saputangan sangat menarik untuk diulas. Namun fakta yang
terjadi pada saat ini saputangan bersaing dengan tisu. Banyak orang yang mulai
beralih pada tisu karena dinilai praktis namun tisu hanya bisa digunakan sekali
saja sedangkan saputangan bisa dicuci dan digunakan kembali.
No comments:
Post a Comment